Harusingat, ada 6 hal penyebab seseorang harus mandi wajib. Jika 6 hal sudah terjadi, maka segera lah mandi wajib. Harus ingat, ada 6 hal penyebab seseorang harus mandi wajib. Jika 6 hal sudah terjadi, maka segera lah mandi wajib. Senin, 16 Mei 2022; Cari. Network. Tribunnews.com; TribunnewsWiki.com; Olehkarena itu, jika hasyafah sudah masuk ke dalam alat kelamin perempuan, meskipun hanya sebentar atau belum orgasme dan ejakulasi, maka wajib bagi keduanya untuk mandi wajib. Begitu pula jika hasyafah masuk ke dalam dubur (sodomi), atau pada alat kelamin binatang, maka hukumnya juga harus mandi wajib karena hal tersebut disebut jima' ke Kesimpulanyajika hanya menempelkan hasyafah ke farji pada bagian yang wajib dibasuh saat istinja, yang artinya hanya menempelkan pada bagian luar saja maka tidak wajib mandi. [ hasyiyah bajuri 2/72-73, kifayatul akhyar 1/38 ]. > Awan As-Safarityy Asy-Syaikheriyy Ini ibarot mb Syifa Al'hasanah : Secaraistilah diartikan sebagai menjadikan seseorang, tempat atau sesuatu yang diharapkan berkahnya perantara menuju Alloh SWT. B. Dalil-dalil tabaruk Tabaruk sebenarnya sudah dilakukan oleh para sahabat damana mereka bertabaruk dengan Rambut Nabi seperti Khalid bin Walid dengan sisa air wudhu Nabi, keringat Nabi, bahkan dengan ludah Nabi. UlamaKesukaan Wahabi Ternyata Cinta Maulid Nabi Posted By T.M.Syuhada Hari yang baik, bulan yang baik serta dengan niat yang b apa penyebab tv tidak mau nyala tapi lampu power hidup. Tuntunan Bersuci Wudhu, Mandi, Tayamum Secara bahasa thahârah berarti suci dan bersih, baik itu suci dari kotoran lahir maupun dari kotoran batin berupa sifat dan perbuatan tercela. Sedangkan secara istilah fiqh, thaharah adalah mensucikan diri dari najis dan hadats yang menghalangi shalat dan ibadah-ibadah sejenisnya dengan air atau tanah, atau batu. Penyucian diri di sini tidak terbatas pada badan saja tetapi juga termasuk pakaian dan tempat. Hukum thahârah bersuci ini adalah wajib, khususnya bagi orang yang akan melaksanakan shalat. Hal ini didasarkan pada QS. Al-Ma’idah/5 6 dan hadis Nabi saw مِفْتَاحُ الصَّلاةِ الطُّهُورُ … “Kunci shalat itu adalah bersuci …” HR al-Tirmidzi, Ibn Mâjah, Ahmad, al-Dârimi, dari Ali bin Abi Thâlib ra. Alat yang digunakan untuk bersuci terdiri dari air, debu dan batu atau benda padat lainnya seperti daun, tisu yang bukan berasal dari najis/kotoran. Benda padat tersebut digunakan khususnya ketika tidak ada air. Namun jika ada air yang bisa digunakan bersuci, maka disunnahkan untuk lebih dahulu menggunakan air. Tapi tidak semua air dapat digunakan untuk bersuci. Air yang dapat digunakan untuk bersuci adalah 1 Air muthlaq yaitu air yang suci lagi mensucikan, seperti air mata air, air sungai, zamzam, air hujan, salju, embun, air laut; 2 Air musta`mal yaitu air yang telah digunakan untuk wudlu dan mandi Muttafaq `alayh, dari Jabir. Sedangkan air yang tidak dapat digunakan untuk bersuci antara lain 1 Air mutanajjis yaitu air yang sudah terkena najis, kecuali dalam jumlah yang besar yakni minimal dua kulah قُلَّتَيْنِ. HR. Tirmidzi, Nasa’i, dll. atau sekitar 500 liter Iraq, dan tidak berubah sifat kemutlakannya yakni berubah bau, rasa dan warnanya; 2 Air suci tetapi tidak dapat mensucikan, seperti air kelapa, air gula teh atau kopi, air susu, dan semacamnya. Namun air yang bercampur dengan sedikit benda suci lainnya –seperti air yang bercampur dengan sedikit sabun, kapur barus atau wewangian–, selama tetap terjaga kemutlakannya, maka hukumnya tetap suci dan mensucikan. Tapi jika campurannya banyak hingga tidak layak lagi disebut sebagai air mutlak, maka hukumnya suci tapi tidak mensucikan. Najis dan Hadats Najis adalah segala kotoran seperti tinja, kencing, darah termasuk nanah, daging babi, bangkai kecuali bangkai ikan, belalang dan sejenisnya, liur anjing, madzi yakni air berwarna putih cair yang keluar dari kemaluan laki-laki yang biasanya karena syahwat seks, tetapi bukan air mani, wadi yaitu air putih agak kental yang keluar dari kemaluan biasanya setelah kencing dan karena kecapekan, dan semacamnya. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah najis hakiki. Najis ini harus dihilangkan lebih dahulu dari badan dan pakaian, sebelum melakukan aktifitas thaharah selanjutnya. Selain najis hakiki, dikenal pula istilah najis hukmi atau hadats itu sendiri yakni sesuatu yang diperbuat oleh anggota badan yang menyebabkan ia terhalang untuk melakukan shalat. Hadats ini ada dua macam, yaitu hadats kecil dan hadats besar. Hadats kecil adalah suatu keadaan di mana seorang muslim tidak dapat mengerjakan shalat kecuali dalam keadaan wudlu atau tayammum. Yang termasuk hadats kecil adalah buang air besar dan air kecil, kentut, menyentuh kemaluan tanpa pembatas, dan tidur nyenyak dalam posisi berbaring. Sedangkan hadats besar seperti junub dan haid harus disucikan dengan mandi besar, atau bila tidak memungkinkan untuk mandi maka cukup berwudlu’ atau tayammum. Wudlu’ Dalil tentang wajibnya wudlu’ terdapat dalam Qs. al-Ma’idah/5 6 dan hadis Nabi saw لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ “Allah tidak menerima shalat salah seorang kamu bila berhadats sampai ia berwudlu.” HR. al-Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad Dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah/5 6 hanya menyebutkan empat anggota wudlu’ yang wajib dibasuh, khususnya ketika sangat sulit dan terbatasnya air untuk bersuci. Namun ketika tidak ada kendala kesulitan atau keterbatasan air untuk bersuci maka disunnahkan untuk berwudlu’ sesuai dengan sunnah Nabi yang telah dirinci dalam hadis-hadis yang maqbûl. Dalam hal ini, ada sebuah hadis tentang tata cara berwudlu’ yang diceritakan oleh Humran mawlâ mantan budak Usman ra. أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ دَعَا بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا. “Bahwasanya Usman bin `Affan meminta tempat air lalu berwudlu. Maka ia mulai membasuh kedua telapak tangannya tiga kali, kemudian berkumur-kumur dan menyemburkan air dari mulutnya. Lalu ia membasuh wajahnya tiga kali, kemudian membasuh tangan kanannya sampai siku tiga kali, kemudian membasuh yang kiri seperti itu pula. Lalu mengusap kepalanya, kemudian membasuh kaki kanannya sampai kedua mata kaki tiga kali, kemudian kaki kirinya seperti itu pula. Kemudian ia Usman berkata Saya melihat Rasulullah saw berwudlu seperti wudluku ini.” Muttafaq `alayh, dari Humrân Dengan demikian tata cara berwudlu’ secara lengkap berdasarkan sunnah Rasul adalah sebagai berikut 1. Niat berwudlu’ karena Allah semata. Sebagai pekerjaan hati, maka niat tidak perlu dilafalkan, apalagi memang tidak ada tuntunan untuk melafalkannya dari Nabi saw. Beliau hanya menuntunkan untuk mengucapkan bismillâh تَوَضَّئُوا بِسْمِ اللَّهِ . Nasa`i & Ibn Khuzaymah. 2. Membasuh tangan tiga kali sambil menyela-nyelai jari-jemarinya وَخَلِّلْ بَيْنَ الْأَصَابِعِ . HR. Tirmidzi, Nasa’i, Abu Dawud, & Ibn Majah Beliau juga mencontohkan cara membasuh anggota wudlu’ yakni dengan sedikit menggosoknya يَدْلُكُ .HR. Ahmad & Abu Dawud 3. Berkumur-kumur secara sempurna sambil memasukkan air ke hidung dan kemudian menyemburkannya sebanyak tiga kali. Abdullah bin Zaid ra menceritakan bahwa setelah Nabi saw membasuh kedua tangannya … فَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ مِنْ كَفٍّ وَاحِدَةٍ فَفَعَلَ ذَلِكَ ثَلاَثًا “Lalu berkumur-kumur dan mengisap air dari telapak tangan sebelah, ia lakukan seperti itu tiga kali.” Muttafaq `alayh Tetapi anjuran untuk berkumur-kumur sampai ke dalam-dalam, tidak berlaku bagi orang yang sedang berpuasa HR. Tirmidzi, Nasa’i, Abu Dawud & Ibn Majah. Untuk menjaga kebersihan dan keharuman mulut, Rasulullah saw menganjurkan bersikat gigi siwâk dalam setiap berwudlu’ HR. al-Bukhari, al-Nasâ’i, dan Ahmad. 4. Membasuh wajah tiga kali secara merata sambil mengucek ujung bagian dalam kedua mata HR. Ahmad, Abu Dawud & Ibn Majah, dari Abu Umamah ra.. Bagi yang berjenggot dituntunkan supaya menyela-nyelai jenggotnya يُخَلِّلُ لِحْيَتَهُ . Tirmidzi, Ibn Majah 5. Membasuh tangan kanan sampai siku tiga kali, kemudian tangan kiri dengan cara yang sama. Rasulullah saw bersabda وَإِذَا تَوَضَّأْتُمْ فَابْدَءُوا بِأَيَامِنِكُمْ “Dan apabila kalian berwudlu maka mulailah dengan yang kanan-kanan!” HR. Abu Dawud, Nasa’i, & Ahmad. Beliau juga menuntunkan agar senantiasa menyempurnakan wudlu’ dengan cara melebihkan basuhan HR. Muslim. 6. Mengusap kepala sekaligus dengan telinga, cukup satu kali. Kepala yang dimaksudkan di sini adalah tempat tumbuhnya rambut di kepala, bukan rambutnya itu sendiri dan bukan hanya sebagian kepala. Hal ini didasarkan pada hadis riwayat Abdullah bin Zaid ra. ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ ثُمَّ رَدَّهُمَا إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ “Kemudian beliau mengusap kepalanya dengan kedua tangannya, dari depan ke belakang, yakni ia mulai dari batas depan kepala hingga beliau menjalankan kedua tangannya sampai tengkuknya, lalu mengembalikannya ke tempat ia memulainya.” HR. Jama`ah, dari Abdullah bin Zayd. Selanjutnya, فَأَدْخَلَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَّاحَتَيْنِ فِي أُذُنَيْهِ وَمَسَحَ بِإِبْهَامَيْهِ عَلَى ظَاهِرِ أُذُنَيْهِ وَبِالسَّبَّاحَتَيْنِ بَاطِنَ أُذُنَيْهِ “Beliau memasukkan jari telunjuknya ke dalam dua lubang telinga. Dua ibu jari beliau mengusap punggung kedua telinganya sedang dua telunjuknya di dalam kedua telinganya.” HR. Abu Dâwud dan Nasâ`i, dari Abdullah bin Umar. Bagi yang memakai sorban karena sudah terbiasa memakainya, cukup dengan mengusap ubun-ubunnya bagian depan kepala dan atas sorbannya فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى الْعِمَامَةِ وَعَلَى الْخُفَّيْنِ. HR. Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Dawud & Ahmad dari al-Mughirah bin Syu`bah ra.. Tetapi bila tidak bersorban, maka dituntunkan untuk mengusap kepalanya secara merata. 7. Membasuh kaki kanan sampai dua mata kaki sambil menyela-nyelai jemari sebanyak tiga kali, kemudian kaki kiri dengan gerakan yang sama Muttafaq `alayh, dari Humrân ra.. Meskipun membasuh kaki termasuk dalam rukun wudlu’, namun jika ia menggunakan khuf sepatu panjang dalam keadaan suci, lalu batal dan ingin berwudlu’ kembali maka Nabi saw memberikan keringanan dalam membasuh kaki yakni cukup dengan mengusap punggung kedua khuf HR. al-Tirmidzi dan Ahmad, dari Mughîrah. 8. Tertib, sesuai dengan keumuman lafal hadis ابْدَءُوا بِمَا بَدَأَ اللَّهُ بِهِ “Mulailah dengan apa yang telah dimulai Allah!” HR. al-Nasa’i, Ahmad 9. Setelah wudlu’, ucapkanlah أَشْهَدُ أَنْ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ “Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah yang Maha Esa, dan saya bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya.” HSR. Muslim, al-Nasa’i, dan Ibn Mâjah dari `Umar bin al-Khaththab ra. Ingat! Rasulullah saw sangat menganjurkan umatnya untuk menyempurnakan wudlu’ & tidak boleh membiarkan ada anggota wudlu yang tak terbasuh air meskipun selebar kuku HR. Abu Dawud, Ibn Majah & Ahmad. Bagi yang tidak cermat dalam berwudlu, ancamannya adalah neraka Wayl Muttafaq `alayh, dari Abu Hurayrah. Itulah sebabnya beliau menganjurkan supaya melebihkan basuhannya HR. Muslim, dari Abu Hurayrah, tapi jangan menggunakan air secara berlebihan mubadzir. Hal-hal Yang Membatalkan Wudlu Ada lima hal yang bisa membatalkan wudlu, yaitu Keluarnya sesuatu dari dua lobang bawah yakni qubul lobang depan atau kemaluan dan dubur lobang belakang atau pantat, baik karena berhadats kecil maupun berhadats besar junub. Termasuk hadats kecil adalah kentut, madzi, wadi dan istihâdlah yakni darah yang keluar dari wanita secara terus menerus di luar waktu kelaziman darah haid dan nifas.Tidur nyenyak dalam keadaan berbaring. Namun bila dalam keadaan duduk, tidak mengapa. Hal ini didasarkan pada riwayat sahabat Anas bin Malik ra. كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْتَظِرُونَ الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ حَتَّى تَخْفِقَ رُءُوسُهُمْ ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلاَ يَتَوَضَّئُونَ “Suatu ketika para sahabat Rasulullah saw menunggu waktu shalat Isya yang akhir hingga terkantuk-kantuk kemudian mereka shalat dan tidak berwudlu.” HR. Abu Dawud & Ahmad dari Anas, dan Tirmidzi dari Syu`bah Menyentuh kemaluan tanpa alas/pembatas. Ini didasarkan pada hadis Nabi saw مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلاَ يُصَلِّ حَتَّى يَتَوَضَّأَ “Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya maka janganlah ia shalat sampai ia berwudlu.” HR. Tirmidzi, Nasa’i, Abu Dawud, Ibn Majah, Ahmad, dari Busrah binti Shafwan. Hilang akal, seperti gila, pingsan atau Ibn Abbas bahwa lâ-ma-sa “saling bersentuhan” dalam QS. Al-Maidah/5 6, secara bahasa berarti bersetubuh. Hal ini diperkuat oleh banyak riwayat yang menyatakan bahwa Nabi saw pernah disentuh oleh istrinya saat sujud dalam shalat HSR. Al-Nasâ’i, Ahmad, dari Âisyah ra. dan pernah juga mencium istrinya lalu shalat tanpa berwudhu lagi HR. Ahmad, Tirmidzi, Abu Dâwud, dari Âisyah ra. Mandi Mandi atau biasa disebut dengan mandi junub adalah membasahi seluruh badan dengan air suci. Hal ini disyari`atkan berdasarkan QS. Al-Ma’idah/5 6 dan Al-Baqarah/2 222. Mandi besar ini wajib dilakukan apabila keluar mani, selesai bersenggama sekalipun tidak keluar mani, selesai haid atau nifas yakni darah yang keluar sehabis melahirkan, baru masuk Islam, sesudah sadar dari pingsan atau gila, dan meninggal dunia. Sedangkan bagi orang yang junub atau wanita yang selesai haid, selama belum mandi besar diharamkan untuk shalat, thawaf dan berdiam di masjid. Adapun hal-hal yang disunatkan untuk mandi antara lain adalah ketika hendak menunaikan shalat Jum`at, shalat dua hari raya atau bagi yang berhaji mulai ketika hendak wukuf di Arafah, sesudah memandikan jenazah dan hendak ihram. Tata Cara Mandi Hal pertama yang penting dilakukan adalah berniat mandi karena Allah dengan membaca basmalah. Kemudian berdasarkan hadis dari istri Nabi yakni Aisyah ra. bahwa Nabi saw إِذَا اغْتَسَلَ مِنْ الْجَنَابَةِ يَبْدَأُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ ثُمَّ يُفْرِغُ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ وُضُوءَهُ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ يَأْخُذُ الْمَاءَ فَيُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِي أُصُولِ الشَّعْرِ حَتَّى إِذَا رَأَى أَنْ قَدْ اسْتَبْرَأَ حَفَنَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلاَثَ حَفَنَاتٍ ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى سَائِرِ جَسَدِهِ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ. “Apabila beliau mandi karena junub, beliau memulai dengan membasuh kedua tangannya, lalu menuangkan air dengan tangan kanannya ke tangan kirinya lalu membasuh farjinya. Kemudian beliau berwudlu seperti wudlunya untuk shalat, kemudian mengambil air lalu memasukkan jari-jarinya ke dasar rambut hingga apabila ia sudah merasa bersih, beliau siramkan air di atas kepalanya dengan tiga siraman. Kemudian beliau meratakan ke seluruh tubuhnya, lalu membasuh kedua kakinya.” Muttafaq alayh Dengan demikian tata cara mandi secara runtut menurut Rasulullah saw adalah Mencuci kedua farji kemaluan dengan tangan kiri. Setelah itu dituntunkan pula mencuci tangan kiri dengan tanah HR. Al-Bukhâri atau cukup digantikan dengan sabun seperti wudlu untuk air ke kepala secara merata keramas sambil menguceknya sampai ke dasar kulit kepala. Bagi wanita yang berambut panjang, bila merasa kerepotan maka bisa menggelung rambutnya kemudian menyiramnya dengan air. HR. Jama`ah, kecuali al-Bukhari.Menyiramkan air ke seluruh badan mandi sampai rata yang dimulai dari kanan kemudian kiri. Rasulullah saw mengakhiri mandinya dengan mencuci kaki. HR. al-Bukhâri-Muslim Selama wudlu tidak batal, maka setelah mandi boleh melaksanakan shalat tanpa perlu berwudlu lagi. Tayammum Tayammum dilakukan sebagai pengganti wudlu’ dan mandi besar bila ada halangan, seperti sakit atau ketiadaan air untuk bersuci, misalnya karena musafir. Tayammum didasarkan pada ayat Al-Qur’an surat Al-Nisa’/4 43 وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا “Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik suci sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema`af lagi Maha Pengampun.” Lihat pula ayat senada dalam QS. Al-Mâidah/5 6 Demikian pula riwayat sahabat Ammâr bin Yâsir ra. yang bercerita di hadapan Umar bin al-Khaththâb ra. bahwa dalam sebuah perjalanan ia pernah berguling-guling di atas tanah lalu shalat karena junub dan tidak mendapatkan air. Setelah kejadian ini diceritakan kepada Nabi saw, maka beliau bersabda إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ هَكَذَا، فَضَرَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَفَّيْهِ الْأَرْضَ وَنَفَخَ فِيهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ “Sesungguhnya cukup bagimu begini, lalu beliau pun menepukkan kedua telapak tangannya ke tanah lalu meniupnya kemudian mengusap keduanya pada wajah dan kedua telapak tangannya.” Muttafaq alayh Dalam redaksi al-Bukhâri yang lain ada tambahan وَمَسَحَ وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ وَاحِدَةً “dan mengusap wajah dan kedua tangannya, sekali.” Sedang dalam redaksi al-Daraquthni disebutkan ثُمَّ تَمْسَحُ بِهِمَا وَجْهَكَ وَكَفَّيْكَ إلَى الرُّسْغَيْنِ “Kemudian kamu mengusap dengan keduanya yakni telapak tangan pada wajahmu dan kedua tanganmu sampai kedua pergelangan tangan.” Berdasarkan QS. 4 43, QS. 5 6 dan riwayat yang disepakati al-Bukhari dan Muslim di atas, maka cara bertayammum adalah sebagai berikut Mengucap basmalah yakni bismillâhirrahmânirrahîm sambil meletakkan kedua telapak tangan di tanah boleh di dinding kemudian meniup debu yang menempel di kedua telapak tangan kedua telapak tangan ke wajah satu kali, kemudian langsung mengusapkan ke tangan kanan lalu kiri cukup sampai pergelangan telapak tangan, masing-masing satu kali. Hal-hal yang membatalkan tayammum, adalah Semua hal yang membatalkan air suci sebelum mengerjakan shalat. Bagi yang sudah shalat lalu menemukan air untuk bersuci pada saat waktu shalat belum lewat maka ada dua pilihan kebolehan, yakni pertama, ia boleh tidak mengulangi shalatnya lagi, dan kedua, boleh juga ia berwudlu lalu shalat lagi HR. Abu Daud dan al-Nasa’i. Namun jika sudah bertayammum dan belum melaksanakan shalat, maka ia wajib berwudlu’. HR. al-Bukhari, dari `AmranHabis masa berlakunya, yakni satu tayammum untuk satu shalat, kecuali bila shalatnya dijama’. Menurut keterangan sahabat Ibn Abbas HR. al-Daraquthni dan Ibn Umar HR. al-Bayhaqi bahwa masa berlaku tayammum hanya untuk satu kali shalat, meskipun tidak berhadats. Inilah pendapat yang lebih kuat. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa sebagai pengganti wudlu maka masa berlaku tayammum sama dengan masa berlaku wudlu. Narasumber utama artikel ini Syakir Jamaluddin Sumber Artikel Hits 43256 Jakarta - Sebelum mengetahui tentang doa berkendara darat dan laut, kita juga perlu mengetahui bagaimana adab saat dalam buku Adab dan Doa Sehari-Hari oleh Thoriq Aziz Jayana, bahwa menaiki kendaraan menjadi salah satu hal yang lekat dengan kehidupan manusia, khususnya dalam aktivitas sehari-hari. Itu merupakan salah satu transportasi yang memudahkan manusia dalam melakukan perjalanan ke suatu tempat, apalagi jika tempatnya dalam berkendara juga ada adab-adab yang perlu kita ketahui dan lakukan, hal ini masih mengutip sumber buku di atas, yaitu Pertama, ucapkan niat yang baik dalam hati, bahwa niat berkendara ini adalah untuk kebaikan dan semata-mata untuk Allah misalnya mencari nafkah, silaturahmi, menuntut ilmu, beribadah, dan lain-lain.Kedua, bersyukur atas kendaraan yang ada, dan hadirkan dalam hati bahwa Allah akan memberikan perlindungan terhadap memperhatikan kelengkapan dan keamanan kendaraan seperti surat-surat kendaraan, membaca basmalah ketika naik kendaraan, dan ketika duduk kemudian membaca membaca doa naik kendaraan dan membaca takbir ketika menemui jalanan yang tidak melanggar lalu lintas atau ugal-ugalan dalam berkendara, juga menghormati pengendara lain dan tidak Naik Kendaraan DaratMengutip sumber lain dalam buku Tafsir Al Munir Jilid 13 oleh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, berikut adalah doa naik kendaraan yang bisa juga merupakan salah satu firman Allah dalam Al Quran surat Az Zukhruf ayat 13-14, yaitu، وَاِنَّآ اِلٰى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُوْنَسُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَBacaan latin Subhaanal ladzii sakh khoro lanaa haadzaa wamaa kunnaa lahu muqriniin. Wa inna ila robbina "Maha Suci Zat yang menundukkan kendaraan ini kepada kami, padahal kami tidak menguasai sebelumnya. dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami."Doa Naik Kendaraan LautSelain itu, dijelaskan juga dalam buku tafsir Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili tadi, bahwa Allah juga mengajarkan doa melalui Nabi Nuh ketika kita menaiki kendaraan laut seperti tersebut sesuai dengan firman Allah surat Hud ayat 41بِسْمِ اللّٰهِ مَجْرٰ۪ىهَا وَمُرْسٰىهَا ۗاِنَّ رَبِّيْ لَغَفُوْرٌ رَّحِيْمٌBacaan latin Bismillahi majreha wa mursaha inna rabbi la ghofurur "dengan menyebut nama Allah pada waktu berlayar dan berlabuhnya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, Maha Penyayang."Itulah pembahasan mengenai adab dan doa berkendara darat dan laut yang bis akita ketahui dan amalkan. Berikut adalah bahasan Safinatun Naja mengenal tanda baligh, istinjak, rukun wudhu, dan cara wudhu. Syarh Nail Ar-Raja’ bi Syarh Safinah An-Naja karya Al-Allamah Al-Faqih As-Sayyid Ahmad bin Umar Asy-Syatiri عَلاَمَاتُ الْبُلُوْغِ ثَلاَثٌ 1- تَمَامُ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً فِيْ الذَّكَّرِ وَالأُنْثَى. وَ2- الاحْتِلاَمُ فِيْ الذَّكَرِ وَالأُنْثَى لِتِسْعِ سِنِيْنَ. وَ3- الْحَيْضُ فِيْ الأُنْثَى لِتِسْعِ سِنِيْنَ. Fasal Tanda baligh ada tiga, yaitu [1] umur 15 tahun sempurna bagi lelaki maupun perempuan. [2] ihtilam mimpi basah bagi lelaki maupun perempuan yang biasanya berumur 9 tahun, dan [3] haidh bagi perempuan yang biasanya berumur 9 tahun. Faedah Kalau tanda itu ada, maka dikatakan baligh. Namun, jika tidak ada, belum tentu tidak baligh. Karena bisa jadi tidak mimpi basah ihtilam, masih ada tanda lainnya. Ihtilam artiya imna’, yaitu keluar mani ketika bangun tidur. Patokan untuk umur tadi adalah kalender qamariyyah hijriyah. Haidh adalah darah normal yang keluar dari rahim wanita pada waktu tertentu. Patokan sembilan tahun adalah umumnya, bisa jadi kurang dari itu atau lebih. [Syarat Istinja] شُرُوْطُ إِجْزَاءِ الْحَجَرِ ثَمَانِيَةٌ 1- أنْ يَكُوْنَ بِثَلاَثةِ أَحْجَارٍ. وَ2- أنْ يُنْقِيَ الْمَحَلَّ. وَ3- أنْ لاَ يَجِفَّ النَجَسُ. وَ4- أَنْ لاَ يَنْتَقِلَ. وَ5- لاَ يَطْرَأَ عَلَيْهِ آخَرُ. وَ6- أَنْ لاَ يُجَاوِزَ صَفْحَتَهُ وَحَشَفَتَهُ. وَ7- أَنْ لاَ يُصِيْبَهُ مَاءٌ. وَ8- أنْ تَكُوْنَ الأَحْجَارُ طَاهِرَةً. Fasal Syarat sah bersuci dengan batu istinja ada 8, yaitu [1] jumlah batunya tiga, [2] membersihkan tempat najis, [3] najisnya belum kering, [4] najis belum berpindah tempat, [5] tidak tercampur dengan najis lain, [6] tidak melampaui ash-shafhah daerah yang tertutup dari kedua pantat saat berdiri dan hasyafah daerah/kuncup yang nampak dari kemaluan lelaki setelah dikhitan, [7] tidak terkena air, dan [8] batu tersebut haruslah suci. Catatan Dalil tentang istinja’ dengan batu istijmar عَنْ سَلْمَانَ قَالَ قِيلَ لَهُ قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- كُلَّ شَىْءٍ حَتَّى الْخِرَاءَةَ. قَالَ فَقَالَ أَجَلْ لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِىَ بِالْيَمِينِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِىَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِىَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ Dari Salman, ia berkata bahwa ada yang bertanya padanya, “Apakah nabi kalian mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai pun dalam hal buang kotoran?” Salman menjawab, “Iya. Nabi kami shallallahu alaihi wa sallam telah melarang kami menghadap kiblat ketika buang air besar maupun air kecil. Beliau juga melarang kami beristinja’ dengan tangan kanan. Beliau juga melarang kami beristinja’ dengan kurang dari tiga batu. Begitu pula kami dilarang beristinja’ dengan menggunakan kotoran dan tulang.” HR. Muslim, no. 262 Istinjak secara bahasa berarti al-qath’u memotong. Secara istilah syari, istinjak berarti menghilangkan sesuatu yang keluar berupa najis yang mengotori dari farji kemaluan dan dibersihkan pada kemaluan dengan menggunakan air atau batu. Hukum istinjak Wajib, jika yang keluar berupa najis yang mengotori. Sunnah, jika yang keluar berupa benda padat jaamid. Makruh, jika yang keluar berupa angin. Mubah, jika yang keluar berupa keringat. Haram, jika yang keluar berupa maghsub harta rampasan. Cara yang paling utama adalah menggunakan air dan batu bersamaan, dimulai dengan menggunakan batu lalu diikuti dengan air, maka sudah dinyatakan mendapat sunnah dengan menggunakan benda jaamid padat walaupun najis. Jika ingin memilih batu ataukah air, lebih utama memilih air. Air itu sifatnya 1 menghilangkan bentuk, 2 menghilangkan bekas. Apabila memulai istinjak dengan air, lalu ingin beristinjak dengan menggunakan batu, maka hal itu tidak disunnahkan karena tidak ada faedahnya. Yang dimaksud batu di sini adalah Jaamid thahir, benda padat yang suci. Qaali’, dapat mengangkat najis. Ghairu muhtarom, tidak dihormati dimuliakan syariat. Contoh tidak boleh istinjak menggunakan buku dan makanan. Syarat sahnya istinja’ jika hanya menggunakan batu saja ada delapan 1- أنْ يَكُوْنَ بِثَلاَثةِ أَحْجَارٍ. [1] jumlah batunya tiga Yang dimaksud adalah tiga kali usapan, jumlah batu bukanlah syarat. Apabila seseorang mengusap dengan tiga sisi batu atau mengusap dengan tiga usapan dari satu sisi dan satu batu, dengan cara dibasuh dan dikeringkan setelah setiap kali mengusap, seperti itu dibolehkan dan sah. وَ2- أنْ يُنْقِيَ الْمَحَلَّ. [2] membersihkan tempat najis Maksud tempat al-mahall di sini adalah bagian ash-shafhah bagian dubur yang tertutup ketika berdiri dan hasyafah kemaluan laki-laki, serta bagian zhahir kemaluan wanita. Syarat kedua istinjak dengan batu adalah orang yang beristinjak harus dapat membersihkan tempat tersebut hingga tidak tersisa kecuali atsar bekas najis yang tidak dapat hilang kecuali dengan kain atau air. Apabila setelah tiga usapan yang wajib ternyata tempat tersebut belum bersih, maka wajib ditambah usapannya hingga bersih. وَ3- أنْ لاَ يَجِفَّ النَجَسُ. [3] najisnya belum kering Maksudnya adalah sesuatu yang keluar tidak mengering seluruhnya atau sebagian di antaranya, hingga tidak dapat diangkat oleh batu. Najis yang keluar hendaklah masih basah atau kering yang masih dapat diangkat oleh batu. وَ4- أَنْ لاَ يَنْتَقِلَ. [4] najis belum berpindah tempat Maksudnya adalah najis yang keluar tidak berpindah dari tempatnya berada ketika keluar, walaupun belum melampaui ash-shafhah dan hasyafah. وَ5- لاَ يَطْرَأَ عَلَيْهِ آخَرُ. [5] tidak tercampur dengan najis lain Maksudnya adalah najis yang keluar tidak bercampur dengan benda yang bukan jenisnya, yaitu selain keringat. Apabila telah bercampur dengan selain jenisnya, walaupun setelah istinjak dengan batu, maka wajib menggunakan air, baik benda yang bercampur itu basah seperti air dan kencing atau kering yang najis seperti kotoran atau suci seperti debu. Imam Ar-Ramli berpendapat lain tentang benda yang bercampur jika kering dan suci, beliau mengatakan tetap sah istinjaknya. وَ6- أَنْ لاَ يُجَاوِزَ صَفْحَتَهُ وَحَشَفَتَهُ. [6] tidak melampaui ash-shafhah daerah yang tertutup dari kedua pantat saat berdiri dan hasyafah daerah/kuncup yang nampak dari kemaluan lelaki setelah dikhitan Maksudnya adalah kotoran najis tidak melampaui bagian shafhah dan air kencing tidak melebihi hasyafah atau tidak melebihi vagina perempuan. وَ7- أَنْ لاَ يُصِيْبَهُ مَاءٌ. [7] tidak terkena air Maksudnya adalah najis yang keluar tidak terkena air, walaupun untuk menyucikannya. وَ8- أنْ تَكُوْنَ الأَحْجَارُ طَاهِرَةً. [8] batu tersebut haruslah suci. Maksudnya adalah batu yang digunakan untuk istinjak harus suci. Sehingga apabila menggunakan sesuatu yang najis atau benda yang terkena najis tidaklah sah. [Rukun Wudhu] فُرُوْضُ الْوُضُوْءِ سِتَّةٌ الأَوَّلُ النِّيَّةُ. الثَّانِيْغَسْلُ الْوَجْهِ. الثَّالِثُ غَسْلُ الْيَدَيْنِ مَعَ الْمِرْفَقَيْنِ. الرَّابعُ مَسْحُ شَيْءٍ مِنَ الرَّأْسِ. الْخَامِسُ غَسْلُ الرِّجْلَيْنِ مَعَ الْكَعْبَيْنِ. السَّادِسُ التَّرْتِيْبُ. Fasal Fardhu rukun wudhu ada enam, yaitu [1] niat, [2] membasuh wajah, [3] membasuh dua tangan hingga siku, [4] mengusap sebagian kepala, [5] membasuh dua kaki hingga mata-kaki, dan [6] tertib berurutan. Catatan Ayat yang membicarakan tentang wudhu يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan basuh kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” QS. Al-Maidah 6 Wudhu secara bahasa berarti membasuh sebagian anggota tubuh, diambil dari kata wadho’ah, yaitu kebaikan dan keindahan. Secara istilah syari, wudhu adalah اِسْمٌ لِغُسْلِ أَعْضَاءٍ مَخْصُوْصَةٍ بِنِيَّةٍ مَخْصُوْصَةٍ membasuh sebagian anggota tubuh tertentu dengan niat tertentu. الأَوَّلُ النِّيَّةُ. [1] niat Niat secara bahasa berarti al-qashdu, keinginan. Niat adalah قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرِنًا بِفِعْلِهِ qashdus syai’ muqtarinan bi fi’lihi, berkeinginan pada sesuatu yang bersamaan dengan perbuatannya. Tempat niat dalam hati. Waktunya awal melakukan ibadah kecuali amalan puasa. Cara-cara niat itu berbeda-beda sesuai ibadah yang diniatkan. Syarat-syarat niat itu ada enam Orang yang berniat adalah muslim Orang yang berniat sudah tamyiz. Mengetahui apa yang diniatkan. Tidak ada menafikan. Tidak dikaitkan ta’liq untuk memutuskan niat dengan sesuatu Tidak ada keraguan dalam memutuskan niat. Maksud niat membedakan adat kebiasaan dan ibadah, seperti duduk di masjid bisa diniatkan iktikaf atau beristirahat. membedakan tingkatan ibadah, seperti ibadah fardhu dari sunnah. Niat wudhu adalah mengangkat hadats kecil, atau bersuci untuk shalat, atau bersuci untuk menjalankan wajib wudhu. Niat di atas berlaku jika tidak terdapat hadats terus menerus da-imul hadats. Namun, ketika ada hadats terus menerus, maka niatnya adalah istibah fardhash shalah diperbolehkan fardhu shalat atau semacamnya. Niat itu dimulai pada mencuci wajah. الثَّانِيْغَسْلُ الْوَجْهِ. [2] membasuh wajah Wajah itu dari ujung tumbuhnya rambut kepala dan akhir lahyayni dagu, lebarnya antara dua telinga. Lahyayni yaitu tulang tumbuh gigi bawah. Wajah disebut demikian karena digunakan untuk bertatap muka. Yang dimaksud adalah membasuh wajah baik kulit dan rambutnya. Maka wajib menyampaikan air hingga ke bagian dalam rambut yang tebal atau tipis. Kecuali bagian jenggot lihyah dan cambang aaridh laki-laki yang tebal, cukup dibasahi bagian luarnya saja. Jenggot yang tebal al-katsif adalah jenggot yang kulitnya tidak terlihat saat sedang berhadapan dan bercakap. Bagian zhahir jenggot yang tebal adalah bagian rambut teratas yang sejajar wajahnya, ini wajib dibasuh. Sedangkan bagian dalam jenggot tidaklah wajib dibasuh. Rambut wajah itu ada 20 Ghamam الغَمَمُ, yaitu rambut yang tumbuh di dahi. 2, 3. Haajibaan الحَاجِبَانِ, yaitu rambut yang tumbuh di atas kedua mata. Kita sebut dengan alis. 4, 5. Khoddaan الخَدَّانِ yaitu rambut yang tumbuh di pipi dinamakan sesuai nama tempat tumbuhnya. Kita sebut dengan rambut pada pipi. 6, 7. Sibaalan السِّبَالاَنِ, yaitu rambut yang tumbuh di ujung kumis. 8, 9. Aaridhoon العَارِضَانِ, yaitu rambut yang tumbuh di bagian bawah telinga yang menurun ke bawah hingga dagu. Ini kita sebut dengan cambang. 10, 11. Idzaroon العِذَارَانِ, yaitu rambut yang tumbuh di antara ash-shudgh pelipis dan aaridh cambang yang sejajar dengan kedua telinga. 12, 13, 14, 15. Ahdaab الأَهْدَابُ الأَرْبَعَةُ, yaitu rambut yang tumbuh di pelopak mata. Ini disebut dengan bulu mata. Lihyah اللِّحْيَةُ, yaitu rambut yang tumbuh di dagu. Kita sebut dengan jenggot. Syaarib الشَّارِبُ, yaitu rambut yang tumbuh di bibir atas. Kita sebut dengan kumis. Anfaqoh العَنْفَقَةُ, yaitu rambut yang tumbuh di bibir bawah. 19, 20. Nafakataan النَّفَكَتَانِ, yaitu rambut yang tumbuh di bibir bawah di antara anfaqoh. Nail Ar-Raja’ bi Syarh Safinah An-Naja, hlm. 133-134 الثَّالِثُ غَسْلُ الْيَدَيْنِ مَعَ الْمِرْفَقَيْنِ. [3] membasuh dua tangan hingga siku Al-yadd secara bahasa berarti dari ujung jari hingga Pundak. Secara syari, al-yadd adalah dari ujung jari hingga di atas kedua siku. Sedangkan dalam masalah pencurian dan semacamnya, yang dimaksud al-yadd adalah dari ujung jari hingga tulang awal lengan yang sejajar ibu jari yaitu pergelangan tangan. Al-mirfaqaini adalah pertemuan antara tulang lengan atas dan lengan bawah. Fardhu wudhu yang ketiga adalah membasuh kedua tangan dan bagian yang ada pada keduanya, seperti rambut, bisul, dan kuku. Yang berwudhu wajib menghilangkan penghalang pada tangan seperti kotoran yang melekat selain keringat, jika tidak susah menghilangkannya. Jika berupa keringat atau susah menghilangkan kotoran itu, maka tidaklah masalah. Begitu pula diperbolehkan adanya kulit bisul, walaupun mudah untuk dihilangkan. Hukum semacam ini berlaku pada kedua tangan, juga berlaku pada anggota wudhu yang lain. الرَّابعُ مَسْحُ شَيْءٍ مِنَ الرَّأْسِ. [4] mengusap sebagian kepala, Kepala adalah nama bagi sesuatu yang tinggi. Kepala sudah makruf kita ketahui. Al-mashu artinya wushulul balal, yang penting basah. Fardhu wudhu yang keempat adalah sampainya basah walaupun tanpa adanya perbuatan dari pelaku, baik diusap atau dibasuh atau selain keduanya hingga terkena sebagaian dari kulit kepala atau rambutnya dengan syarat rambut itu tidak keluar dari batas kepala jika dijulurkan dari arah turunnya. Apabila tangannya basah dan diletakkan di atas kain yang ada di kepalanya, lalu basah itu sampai ke kepala, maka dianggap telah mengusap kepalanya. الْخَامِسُ غَسْلُ الرِّجْلَيْنِ مَعَ الْكَعْبَيْنِ. [5] membasuh dua kaki hingga mata-kaki, Ka’bain adalah tulang yang menonjol yang terdapat pada sendi betis dan telapak kaki. Fardhu wudhu yang kelima adalah membasuh kaki hingga kedua mata kaki dan belahannya. Wajib menghilangkan sesuatu yang terdapat pada belahan kaki, seperti lilin dan semacamnya jika tidak sampai ke bagian dalam daging. السَّادِسُ التَّرْتِيْبُ. [6] tertib berurutan. Fardhu wudhu yang keenam adalah tertib yaitu mengerjakan rukun 1 sampai 5 sesuai urutan. Jika tidak sesuai urutan, maka tidak sah wudhunya. [Arti Niat dan Tertib] النِّيَّةُ قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرِناً بِفِعْلِهِ. وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ. وَالتَّلَفُّظُ بِهَا سُنَّةٌ. وَوَقْتُهَا، عِنْدَ غَسْلِ أَوَّلِ جُزْءٍ مِنَ الْوَجْهِ. وَالتَّرْتِيْبُ أَنْ لاَ يُقَدَّمَ عُضْوٌ عَلَى عُضْوٍ. Fasal niat adalah menyegaja sesuatu yang dibarengi dengan mengerjakannya dan tempat niat ada di dalam hati. Melafazhkannya adalah sunnah. Waktu niat adalah saat membasuh bagian pertama dari wajah. Maksud tertib adalah bagian yang pertama tidak didahului bagian yang lain. — Niat berarti al-qashdu, keinginan. Letak niat adalah di dalam hati, tidak cukup dalam lisan, tidak disyaratkan melafazhkan niat. Berarti, niat dalam hati saja sudah teranggap sahnya. Apa dalil untuk tartib berurutan dalam wudhu? Dalilnya adalah ayat wudhu surah Al-Maidah ayat 6. Allah menyebutkannya secara berurutan dan meletakkan mengusap pada kepala di antara dua membasuh. Juga ketika ditunjukkan praktik wudhu Nabi shallallahu alaihi wa sallam selalu berurutan dan beliau tidak pernah meninggalkan tartib tersebut. Tartib dalam wudhu adalah dengan memulai dari membasuh wajah, lalu membasuh kedua tangan sampai siku, lalu mengusap kepala, kemudian membasuh kedua kaki sampai mata kaki. Jika seseorang membasuh langsung empat anggota wudhunya satu kali siraman, maka tidaklah sah kecuali yang sah hanya membasuh wajahnya saja karena urutannya yang pertama. Lihat perkataan Imam Asy-Syairazi. Al-Majmu’, 1248 SUNNAH-SUNNAH WUDHU Bersiwak Membaca bismillah Mencuci kedua telapak tangan hingga pergelangan tangan Madhmadhah memasukkan air ke dalam mulut Istinsyaq menghirup air ke hidung Menggabungkan antara madhmadhah dan istinsyaq Berwudhu tiga kali tiga kali Mengusap seluruh kepala Mengusap kedua telinga, bersama lubang telinga Menyela-nyela jari tangan dan kaki Muwalah, tidak sampai ketika mengusap yang kedua anggota yang sebelumnya kering Tayamun, mendahulukan yang kanan Ithalah al-ghurrah wa at-tahjiil, melebarkan membasuh wajah, kedua lengan, dan kedua kaki Tidak meminta tolong dalam berwudhu MAKRUH WUDHU Meninggalkan madhmadhah memasukkan air ke mulut dan istinsyaq menghirup air ke hidung Tidak mendahulukan yang kanan Bersuci dari bekas wanita Menambah lebih dari tiga, dalam keadaan yakin Kurang dari tiga basuhan Meminta tolong membasuh anggota wudhunya tanpa ada uzur Berwudhu dengan air yang tergenang Israf boros dalam menyiram Haram menggunakan air yang disediakan untuk diminum dan masih menjadi milik orang lain padahal belum diketahui ridanya Baca Juga Safinatun Naja Mukadimah, Rukun Islam, Rukun Iman, Syahadat Safinatun Naja Hukum Air, Sebab dan Cara Mandi — Catatan 28-09-2021 Oleh Muhammad Abduh Tuasikal Artikel — Terdapat sejumlah kondisi yang menuntut seorang Muslim harus melakukan mandi besar atau mandi junub. Dalam buku Sudah Mandi Wajib Haruskah Wudhu Lagi tulisan Ustadz M Saiyid Mahadhir menyebutkan Ibnu Faris dalam kamus Maqayis Al-Lughah menjelaskan bahwa janabah itu sendiri berarti jauh, lawan dari kata dekat. Disebut jauh karena seseorang yang sedang berstatus janabah dia sedang dalam posisi jauh tidak bisa melakukan sebagian ritual ibadah, semisal sholat , membaca Alquran serta berdiam diri di masjid. Istilah janabah ini digunakan untuk menunjukkan kondisi seseorang yang sedang berhadats besar karena telah melakukan hubungan suami istri, ataupun sebab-sebab lainnya, janabah dan hadas besar itu adalah dua kata yang mempunyai maksud yang sama. Jika ada seseorang yang berkata sedang dalam kondisi janabah, itu berarti dia sedang dalam keadaan berhadats besar. Ada tujuh penyebab seseorang memiliki janabat dan diwajibkan untuk mandi besar, di antaranya. Pertama, keluarnya air mani. Mani itu adalah benda cair yang keluar dari kemaluan dengan aroma yang khas, agak amis, sedikit kental dan mudah mengering seperti telur bila telah mengering. Dan biasanya keluarnya disertai dengan rasa nikmat dengan cara memancar. Bagaimanapun cara keluarnya, disengaja masturbasi atau mimpi, atau dengan cara hubungan suami istri, semua wajib mandi. Ternyata hal ini tak hanya berlaku untuk laki-laki saja. Perempuan juga dapat keluar mani, dan bagi perempuan juga memiliki kewajiban yang sama jika mani keluar dari mereka. Dari Ummi Salamah RA bahwa Ummu Sulaim istri Abu Thalhah bertanya RA, "Ya Rasulullah sungguh Allah tidak malu bila terkait dengan kebenaran, apakah wanita wajib mandi bila bermimpi? Rasulullah SAW menjawab "Ya, bila dia mendapati air mani." HR Bukhari dan Muslim. Baca juga Bolehkah Menjual Harta Wakaf? Kedua, berhubungan suami istri Apabila berhubungan suami istri disertai keluarnya mani atau tidak, meski hanya sebatas bertemunya dua kemaluan, maka kondisi itu sudah membuat seseorang wajib mandi. Rasulullah SAW bersabda إِذَا جَاوَزَ الْخِتَانُ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ “Bila dua kemaluan bertemu atau bila kemaluan menyentuh kemaluan lainnya maka hal itu mewajibkan mandi.” BACA JUGA Update Berita-Berita Politik Perspektif Klik di Sini 0% found this document useful 0 votes0 views19 pagesOriginal TitleMenyucikan baju dari darah haidlCopyright© © All Rights ReservedShare this documentDid you find this document useful?0% found this document useful 0 votes0 views19 pagesMenyucikan Baju Dari Darah HaidlOriginal TitleMenyucikan baju dari darah haidl HUKUM KENAJISAN DARAH HAIDL, NIFAS DAN ISTIHADLOH Pembagian 1 Sesuatu yang Keluar dari Badan Manusia QOIDAHSetap sesuau yg keluar dari badan manusia yang mana mewajibkan wudlu’ aau mandi, maka sesuau ersebu najis, sepert kencing, kooran BAB, madzi, wadi, darah haidl, nifas, isthadloh, darah yg keluar dari luka, dima’funya darah yang sediki sepert dima’funya mani menuru Imam Abi Hanifah dan Imam Malik adalah najis, Imam Sya’I dan Imam Ahmad bin Hanbal didalam sahnya dua riwaya yakni Madzhab Dzohiriyah bahwa mani suci. Imam Nawawi menambahkan bahwa sucinya mani banyak menuru pendapa Ahli Fiqih. Sepert penambahan dari Ahli Hadis Diriwayakan dari Ali bin Abi Thalib dan Saad bin Abi Waqash dan Ibnu Umar dan Aisyah ra. Pembagian 2 Darah yang Keluar atau Mengalir Darah yg mengalir dari anak adam manusia baik laki-laki maupun perempuan selain hewan hukumnya eap sama yaiu najis, walaupun tdak mewajibkan wudlu aaupun mandi, conoh darah CARA MEMBASUH TEMPAT NAJIS SUPAYA SUCI DARI NAJIS Pembagian 4 Menyucikan Ujung Pakaian Perempuan yang Mengenai Sesuatu dari Najisnya Tanah. Diriwayakan dari Ashabus Sunan bahwa Ummu Walad bin Ibrahim bin Abdir Rahman bin Auf. Ummu Salamah beranya kepada Isri Nabi SAW. Beliau menjawab Sesungguhnya aku adalah perempuan yang memanjangkan ujung bajuku dan aku berjalan di empa yang koor. Ummu Salamah berkaa Rasulullah bersabda Yang menyucikan adalah sesuau se dari Abi Dawud sesungguhnya perempuan dari Bani Abdil Asyhal berkaa kepada Rosulullah Ya Rosulullah kami memiliki jalan yang bau menuju masjid, bagaimana kia melewatnya jika hujan urun? Rosulullah bersabda Apakah tdak ada jalan seelahnya yang lebih wangi darinya? Perempuan menjawab ada. Rosulullah Bersabda Maka ini dengan ini. Dalam riwaya Ibnu Majah dari perempuan ini berkaa Saya beranya kepada Nabi Muhammad SAW Sesungguhnya Anara saya dan anara masjid erdapa jalan yang koor. Nabi menjawab Apakah seelahnya tdak ada jalan yang lebih bersih dari jalan ersebu? Saya menjawab Iya. Nabi bersabda Maka ini dengan yang mulia ini menunjukkan bahwa sesungguhnya perkara yang mengenai ujung pakaian wania dari najis bisa disucikan najisnya dengan debu anah yang suci yang bersih Yang dilewat perempuan seelah melewat anah perama yang koor. Ini adalah makna ibaro هف هب dan ibaro دعب ام رهطي yang disebukan didalam hadis. Teapi apa yang dimaksud dengan najis yang mengenai ujung baju wania? Apakah ermasuknajis basah dan kering aau khusus najis kering dan membaasi aasnya? Pendapa Ulama Ahli Fiqih  Pendapa 1 Imam Al-Khaabi dari Imam Sya’i, beliau berkaa sesuau yang menempel di ujung pakaian wania, maka di arik di hilangkan apabila yang menempel adalah sesuau yang kering dari najis, dan tdak ada yang meleka dari pakaian. Apabila yang meleka pada ujung baju wania berupa najis basah maka tdak bisa disucikan kecuali dengan mencuci aau membasuhnya.  Pendapa 2 Diriwayakan dari Imam Malik, beliau berkaa Sesungguhnya makna hadis Ummu Salamah yaiu kooran aau najis yang kering yang sesuau tdak menempel pada baju. Meskipun menempel padanya maka sesuau yang menempel bisa hilang dengan sesuau seelahnya. Sesungguhnya najis bisa disucikan selain dengan air. Dari Imam Malik bahwa makna hadis yaiu Jika melewat anah yang koor kemudian perempuan melewat anah kering yang bersih, maka sebagian yang koor disucikan dengan sebagian yang bersih. Adapun najis sepert kencing dan semisalnya yang mengenai baju aau sebagian jasad badan maka tdak bias suci kecuali dengan mandi aau membasuhnya. Imam Malik berkaa Dan ini adalah ijma’ para imam.  Pendapa 3 Imam Az-Zarqani berkaa Sebagian Ulama’ berpendapa bahwa maksud dengan koor di dalam hadis yakni najis meskipun basah. Ulama’ berkaa Bisa disucikan dengan anah yang kering. Karena ujung baju wania yang menjunai sepert sandal bagi kaki. Hal ini didukung oleh apa yang ada dalam hadis Ibnu Majah Dari Abi Huroiroh ra. Dikaakan Ya Rosulullah sesungguhnya saya ingin ke masjid, lalu saya melewat jalan yang najis. Rosul menjawab Tanah bisa menyucikan sebagiannya dengan sebagian yang lain. Teapi hadis ini hadis dho’if sepert yang dikaakan Imam Baihaqi dan selainnya.  Pendapa 4 Imam Ad-Dahlawi berkaa Jika ujung baju mengenai najis jalan, kemudian melewat empa lain dan bercampur dengan lumpur jalan, debu anah, debu empa ersebu, dan najis yang menempel menjadi kering, maka ujung baju yang najis bisa suci dengan dihamburkan aau digosok, hal ersebu dima’fu didalam syari’a dengan sebab malu dan erekan, Seperi halnya membasuh anggoa dan pakaian dari darah luka iu dima’fu menuru Madzhab Maliki, Sepert halnya najis yang basah mengenai sandal, maka bisa hilang dengan menggosok, Sandal bisa suci menuru Imam Hana dan Imam Maliki dengan sebab malu... kemudian Imam Ad-Dahlawi berkaa Apa yang dikaakan Imam Al-Baghowi Seseungguhnya hadis ini digunakan unuk najis yang kering yang mengenai pakaian kemudian berhamburan sesudahnya, … Karena najis yang menempel diujung baju ketka berjalan di empa yang koor dan najisnya basah pada umumnya keadaan…  Pendapa 5 Imam Muhammad bin Hasan berkaa dalam riwayanya karena muwaa’ ImamMalik seelah menjelaskan hadis Ummu Salamah Tidak apa-apa asalkan tdak menempel pada ujung baju yang koor, besarnya kooran kira-kira sebesar dirham yang besar. Jika sepert iu, maka janganlah shala dengan pakaian ersebu sampai dia membasuhnya. Hal iu menuru Imam Abi yan paling unggul didalam masalah menyucikan ujung baju perempuan yakni erperinci sebagai beriku yang kering yang menempel pada ujung baju perempuan, maka bisa suci dengan lewadan berjalannya wania di anah yang suci yang sepi dari basah ketka menempel pada ujung baju wania, dan hilang najisnya dengan melewat anah suci yang bersih, maka ujung baju perempuan bisa suci dengan ada najis basah yang sediki dan eap tdak hilang, meskipun dari lewanya perempuan di anah yang baik,suci dan sepi dari najis, maka najis ini dima’fu karena didasarkan pada asal menghilangkan keberaan. Hal ersebu merupakan asal berlakunya syaria islam. Adapun jumlah kecil, apa yang disebukan Imam Muhammad bin al-Hassan enang iu mungkin dapa di erdapa banyak najis basah, dan eap menempel pada ujung baju wania iu anpa menghilang aau erlepas, meskipun wania melewat anah yang baik dan suci, maka sucinya ujung baju wania dengan harus mencucinya sesuai dengan dasar umum dalam menyucikan perincian ini, kami elah mengambil apa yang diunjukkan oleh hadis-hadis mulia dan apa yang diperlukan oleh dasar-dasar hukum umum dalam menyucikan MEMBERSIHKAN MANI YANG MENEMPEL PADA BAJU Pembagian ke 5 Membersihkan Baju Laki-Laki atau Perempuan dari Mani. Ketka mani mengenai pakaian laki-laki aau pakaian perempuan maka cara membersihkannya dengan cara dikerik aau digosok jika maninya iu jika basah, maka dibasuh aau dicuci. Hal ini dibuktkan dengan hadis dari Imam Bukhori dari Sulaiman bin Yasar, berkaa Saya beranya pada Aisyah ra enang mani yang mengenai pakaian, Aisyah berkaa Saya membasuh pakaian Rosulullah yang erkena mani kemudian Rosulullah keluar unuk shola dan masih erdapa bekas bintk-bintk air di pakaian dari Imam Muslim dari Aisyah ra enang mani, Aisyah berkaa Saya mengeriknya mani pada pakaian Ad-Darquhni megeluarkan dari Aisyah ra, berkaa Saya mengerik menggosok mani pada baju Rosulullah ketka mainya kering, dan membasuh pakaian Rosul jika maninya Abu Dawud dari Aswad sesungguhnya Aisyah berkaa Saya mengeriknya mani pada pakaian Rosulullah kemudian Rosul shola dengan pakaian ersebu. Diriwayakan juga dari Abu Dawud dari Sulaiman bin Yasar dari Aisyah ra Sesungguhnya Aisyah mencuci mani di pakaian Ibnu Majah dari Aisyah, berkaa Saya meliha mani di pakaian Rosulullah lalu aku mengerik menggosok dalam beberapa hadis yakni membasuh mani, dan didalam hadis yang lain yakni menggosok aau mengeriknya dan tdak adanya keberaan enang hal iu. Karena mungkin unuk mengumpulkan keduanya. Jelas unuk mengaakan bahwa air mani disucikan dengan dicuci lebih diinginkan unuk dibersihkan, tdak wajib. Dan hal ini menuru Imam Sya’I, Imam Ahmad dan Ashabul Hadis. Demikian juga, adalah mungkin unuk mengaakan bahwa mani

wajibkah mandi jika hasyafah dan farji hanya menempel